CERPEN : 3 Saudara

      Gelasnya tak pernah terisi penuh atau terminum habis, entah apa yang bapak lamunkan, kematian ibu sudah lama berlalu, aku yakin bapak sudah tebal hatinya perihal ibu, tapi di hari hari tuanya bapak terlihat makin murung bagai bunga yang makin hari makin layu. Kuharap bunga itu sempat kumasukan lilin agar binarnya tetap awet.
Tapi disinilah aku menemani bapak bermandikan cahaya sore, menengok keluar jendela melihat luas dan sejuknya udara luar.
     Kakak harus bekerja keluar kota, kerja di bandung dan berjanji menelfon rumah setiap mingu dan mengirimi wesel setiap bulan. Adik juga harus kuliah lagi, rencananya aku ingin mendesak adik laki lakiku satu satunya agar setelah lulus meneruskan usaha kami dulu, juga agar menempati dan berkeluarga di rumah ini menemani bapak. Karna mungkin aku juga ingin bekerja keluar, membangun rumah sendiri dan menafkai diri sendiri.
     Aku tidak berencana menikah, mati muda mungkin solusinya, hidup mungkin jangan terlalu lama. Tapi aku selalu berdoa kepada YANG MAHA PENGUASA agar aku mati setelah bapak, memastikan aku disamping dipan tempat ia berbaring dan merapal syahadat. Hidupku memiliki tujuan sesedehana itu. Aku tak memiliki misi menjadi pribadi yang kaya, aku cukup hanya menjadi pegawai yang digaji bulanan hidup dan menghibur diri sendiri.
   Tapi disinilah aku menemani bapak melihat pungung anak tertuanya langkah demi langkah menjauh. Bapak tidak sedih, ia menagis haru satu dari anak anaknya sudah melangkah jauh dewasa. Melupakan kebodohan masa kecil, Meninggalkan masa hedonis remaja, menapaki tanggung jawab kedewasaan. Menjadi salah satu warga produktif pengerak roda pemerintahan.
“kapan bisa pulang dik?” tanya ku lewat ponsel.”mungkin 6 bulan lagi mas” jawab adikku. Itu adalah percakapan terahkir sebelum aku tidak bisa mnghubunginya lagi.
    Aku tidak tega meninggalkan bapak hidup sendiri dikampung halaman. Tapi aku ingin dan memang harus pergi untuk urusan pekerjan, tapi toh bapak tidak melarangku pergi. Dia bahkan menasihatiku agar tidak terlalu mencari dunia, dunia itu ada batasnya dan harus dibatasi.
Aku pergi melangkah keluar kampung dengan mendempul hati tebal tebal meninggalkan bapak hidup sendiri, itu akan jadi momen kedua bapak melihat punggung anaknya, dan berharap masih hidup melihat kami bertiga pulang ke rumah antik itu.

2 tahun telah berlalu.
    Aku sudah hidup mandiri membeli dan tinggal di rumah diluar kampung halaman jauh dari rumah bapak, mulai melupakan kebiasaan menyeduhkan teh untuk bapak, kini aku menyeduh teh untuk diriku sendiri. Terkadang perasaan rindu datang ketika menaburkan sejumput daun teh ke dalam teko, kemudian merasakan sekejap harum teh kering. Jika ditanya apa aku rindu rumah, aku sering berharap bisa berkata tidak, karna disinilah rumahku sekarang, disinilah aku menetap, menancapkan bendera namaku di bumi lain ini.
   Aku disini bekerja full time, aku sangat berhasrat dalam pekerjaanku, tapi tak pernah punya keinginan meningkatakan pendapatan, menjilat njilat atasan untuk dipromosikan. Brangkat 7 pagi pulang 3 sore, tak pernah aku mengeluhkanya jika lelahpun dengan menghela nafas sudah cukup bagiku. ketika berpulang melepas penat disambut lukisan kaligrafi bacaan basmalah kemudian melarutkan teh hangat beristirahat. begitulah kesehariangku selama ini.
   Suatu hari seorang pria berseragam rapi menjijing tas turun dari sekuternya berjalan mendekat menegur menanyakan namaku, dia adalah seorang tukang pos mengantarkan sepucuk surat. Diamplopnya bertuliskan alamat pengirim dari rumah bapak, tapi isi surat aku yakin bukan tulisan bapak, tulisan mungkin memang bukan tullisan bapak tapi text dialog suratnya mengunakan sisipandang bapak. Isinya tentang perintah pulang secepatnya.
     Rencana akhir ramadhan nanti akukan pulang. “Pulang ya?” kataku dalam hati apa aku yang sudah tinggal jauh dari kampung halaman masih bisa menyebut rumah bapak tempat berpulang, entahlah aku juga mersa aneh ketika berniat pulang ke rumah bapak dengan melafalkanya.
       Rumah, tembok, gang gang sempit, posisi pohon masih terlihat sama terahirkali aku melihatnya 3 tahun yang lalu. Melalui jalan jalan kampung yang masih rimbun dipayungi pohon rambutan dan mangga dikanan kiri, melangkahkan kaki di jalan tegel yang berlumut menyejukan mata, terlihat beberapa pemuda sedang menyiapkan arak arakan takbiran. “ini kah rasanya pulang?” tanya ku dalam hati dengan benar benar meresapinya. Sampailah di rumah bapak, masih terlihat sama.
    Dan disaat keriunduanku dimanjakan aku terkejut melihat pria berlutut mencabuti rumput merawat tanaman,  lebih muda dariku, memakai peci, celana kain baju koko putih bersih dan wajah basah karna air wudhu. “assalamuallaikum” sapa ku mencoba mendapatkan perhatiaannya. Dia berdiri menjawab salam, dia adikku. “sejak kapan dek?” tanyaku penasaran tanpa memperdulikan kabarnya “setahun yang lalu” jawabnya langsung tanggap dengan maksudku. Keberadaannya disini menjawab pertayaan surat dari bapak yang lalu. Dan aku yakin saat kepulangannya ia terkejut mengetahui bapak sudah tinggal sendirian, sama terkejutnya dengan ku mengetahui keberadaanya setelah tak terlacak beberapa tahun belakangan.
       Aku berlutut sungkem kepada bapak, meminta maaf. Adikku mengatakan kemarin mas menelfon rumah kabarnya ia akan datang. Mendengarnya aku membayangan betapa canggungnya kami besok. Dan membayangkan senangnya bapak.
     Pagi itu sebuah mobil berhenti didepan rumah, mobil sedan warna biru metal, memuntahkan sekelompok orang yang terlihat seperti keluarga. Dari kursi depan pintu menampikan sosok wajah yang tak asing. Dia kakakku. Mengandeng wanita dan dua orang anak perempuan. mereka keluarga yang indah dipandang, tapi menikah tanpa mengundang pihak mempelai laki laki, it’s too damn high. Setelah dijelaskan kakak hanya mengundang bapak. Kakak hanya menyapa menyalami kami dan langsung menemui bapak, memeperkelnalkan anaknya siapa kakeknya. Bersama isrtrinya ia meminta maaf. Lalu memperkenalkan anak anak itu siapa paman mereka. Aku menepuk pundak adikku, “kapan nyusul?”. “anda sendiri?” balasnya. Kami tertawa terbahak bahak. Suasana yang hangat dan syukur masih sempat disaksiskan oleh ayah kami.
     Kakak mengatakan istrinya dari kenalan tempat kerja kemudian berencana menikah setelah setahun kenal. Adiku sudah dijodohkan oleh gadis satu desa yang dikenal dari kelurga baik baik. Dan dia juga sudah megenalnya cukup lama, jadi hanya masalah waktu saja. Dan bagaimana aku?, aku hanya berdiam diri dan berharap keajaiban.

Komentar

  1. "mungkin 6 bulan lagi mas" jawab adikku
    Setahuku yang benar begini:
    "Mungkin enam bulan lagi, Mas," jawab adikku

    2 tahun telah berlalu.
    >> Dua tahun telah berlalu.

    Penggunaan di-ke-dari terpisah dg lokasi >> di samping, di dekat.

    Penggunaan EYD-nya Zaaan, padahal kalimatnya sudah bagus, puitis.
    Sayang sekali kalau EYD-nya kurang, kata baku jugaa.

    Ceritane apiiik ciyus. Diksi yang digunakan well tenan, tapi menurutku kurang klimaks.



    Sign,
    Ayu Rosyiida.

    BalasHapus
  2. pembaca akan mengerti dan mengesampingkan eyd

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melihat Kecerdasan